Rabu, 08 Juni 2011

SEJARAH BERDIRINYA PONDOK PESANTREN NAHDLATUL WATHAN JAKARTA

A. Niat Ke Tanah Suci Terdampar Di Tanah Betawi
Memilukan sekaligus memalukan
Siapa nyana, siapa nyangka Nahdlatul Wathan Jakarta lahir dari duka nestapa para pendirinya.
Akhir tahun 1979 Ma’had Darul Qur’an dan Hadits Majidiyah Assyafi’iyah Nahdlatul Wathan Pancor Lombok Timur Nusa Tenggara Barat, para mahasiswa yang sedang menekuni dan mendalami ilmu-ilmu agama, tiba-tiba mengalihkan perhatian ke sebuah pengumuman tentang pengiriman tenaga kerja Indonesia (TKI) ke Arab Saudi. Mereka yang tertarik langsung pulang ke kampung halaman masing-masing untuk bermusyawarah dengan keluarganya mengenai restu, biaya, dan persiapan-persiapan lainnya.

Tak ayal lagi tanpa mempertimbangkan segala resiko, mereka berusaha mengumpulkan dana dari berbagai sumber. Ada yang menjual tanah milik keluarga, ada yang menjual sebidang tanah warisan dan ada yang mendapatkan dana dengan jalan menggadaikan kebun dan sawah.
Dari 47 orang yang mendaftarkan diri, hanya 23 orang yang memenuhi kwalifikasi. Setelah dana terkumpul, hari yang ditunggu-tungu pun tuba. Dengan dilepas seluruh anggota keluarga, tetangga, teman serta handai taulan masing-masing dari bandar udara Rembige (sekarang selaparang), berangkat mereka ke Arab Saudi. Dua puluh menit keudian ternyata pesawat Garuda F 27, mendarat di Bandara Ngurah Rai Bali. Disinilah mereka mulai merasakan adanya gejala ke tidak beresan. Semalam di Bali, kemudian berangkat dengan bus malam keesokan harinya. “Tanpa tujuan yang pasti, didalam perjalanan tersebut saya berfikir; kemana arah perjalanan selanjutnya?” Tutur Badarruddin selaku ketua kelompok dari ke 23 orang itu.

Dua hari di perjalanan, akhirnya mereka sampai di sebuah terminal bus kota, yang kemudian diketahui sebagai terminal Pulo Gadung. “Kami bingung saat itu, dimanakah kami berada, mengapa kami disuruh turun?” kenang ketua kelompok 23 yang berasal dari Teratak Kecamatan Batukeliang, Lombok Tengah.
Dalam perjalanan ke tempat penampungan baru, rombongan yang sudah mulai lelah, dalam perjalanan diberitahukan bahwa saat ini mereka berada di Jakarta “Sekarang kita berada di Jakarta” ujar penanggung jawab rombongan. Tetapi rombongan TKI yang sebagian besar Thullab Ma’had itu tidak yakin. “Apakah ini Jakarta yang sering kami lihat di Telivisi ?” sanggah mereka.
Dirumah penampungn itu, mereka menunggu. Sampai akhirnya pada minggu ketiga awal tahun 1980 itu, kondisi persediaan keuangan mulai menipis. Tetapi, belum ada kepastian keberangkatan ke Tanah Suci. “Kita sedang mengurus pasport dan visa untuk berangkat ke Arab Saudi”, kata penanggung jawab yang mengambil alih tanggung jawab rombongan TKI dari Lombok.
Dalam rangka menanti keberangkatan itu pula, kelompok 23 ini dianjurkan untuk mengikuti berbagai pendidikan non-formal, seperti kursus setir mobil, bahasa Inggris, mengetik dan lain-lain. “Dana kursus ditanggung oleh kami” katanya lagi.
Minggu berikutnya mereka menghadapi permasalahan yang sangat berat, biaya hidup sudah habis ketika mereka diusir dari penampungan. “ Baru kami sadari rumah yang kami tempati hanyalah rumah kontrakan”. Ucap Badaruddin memelas.
Tak ayal lagi, mereka meminta pertanggung jawaban. Mereka kemudian dipindahkan ke Simpang Tiga untuk menempati rumah yang telah dikontrakkan sebelumnya.
Kondisi kontrakan yang mereka tempati ternyata tidak jauh berbeda dengan sebelumnya, bahkan jauh lebih memprihatinkan. Suasana ini membuat mereka tidak merasa betah. “Sebaiknya kita mencari alternatif lain yang lebih menguntungkan”. Ajak Badaruddin, ketua kelompok 23.
Satu-satunya pilihan mereka adalah mudhalla. Mulanya mereka datang untuk melaksanakan ibadah. Keahlian mereka membaca Al-qur’an menimbulkan ketertarikan pemimpin mushalla. Mereka kemudian diajak untuk bersama-sama mengajar mengaji. Inilah menjadi cikal-bakal berdirinya perwakilan Nahdlatul Wathan Jakarta (baca gayung bersambut).
Allah telah menentukan, apapun yang mengawalinya; baik itu kepiluan mauupun suatu yang memalukan, tetapi nyata sudah hikmah yang tak terkira dibalik semua itu.

B. Dan Gayungpun Bersambut

Banyak hal yang melatarbelakangi seorang menentukan pilihan bergabung dalam satu wadah. Bagaimana dengan masyarakat Jakarta terhadap Nahdlatul Wathan?
Jakarta yang merupakan pusat pemerintahan RI, pada awal tahun 80-an, nelum semuanya tersentuh oleh pembangunan kota metropolitan. Seprti belahan Timur Jakarta, tepatnya dikampung Pisangan-suasana waktu itu bagaikan sebuah desa ditengah hiruk pikuk ibukota.
Penduduk asli yang dikenal dengan sebutan Betawi mempunyai ikatann agama yang yang cukup kuat. Hai ini tergambar pada kepatuhan mereka beribadah sehari-hari yang didassari faham Ahlussunnah Wal Jamaah dengan mazhab Syafi’i. Sementara para pendatang terus bertambah dan menglasifikasi diri dengan masyarakat Jakarta secara keseluruhan namun pada saat itu di Penggilingan khususnya, lembaga-lembaga keagamaan masih sangat kurang. Seperti itulah potret masyarakat Penggilingan.
Dalam kondisi demikian nasib rupanya membawa abituren Nahdlatul Wathan datang ke daerah tersebut, membaur dengan masyarakat, membina pengajian di beberapa tempat. Diantaranya di mushalla Al-Ikhlas yang dibina oleh Suhaidi, salah seorang abituren Nahdlatul Wathan tersebut. Dengan gaya khasnya membina pengajian menyebabkan masyarakat menaruh simpati. “Kehadirannya bagaikan setetes air di padang gersang”, demikianlah pengakuan Ibu Yakut sseorang warga ketika diminta pendapatnya.
Dari waktu ke waktu pengajian ini berkembang dengan sangat menggembirakan dengan waktu yang relatif singkat jumlah muridnya terus berambah. Samang Gafin salah seorang karyawan Telkom dan simpatisan Nahdlatul Wathan ketika mengomentari tentang sebab pesatnya perkembangan pengajian ini mengatakan bahwa salah satu penyebabnya adalah kepribadian pembinanya, “Saya mempunyai banyak teman, tetapi baru ini saya menemukan figur seperti dia, yang selalu terbuka dam penuh pengertian”, ujarnya lebih lanjut.
Hal ini yang menyebabkan mufahnya Nahdlatul Wathan diterima oleh masyarakat Penggilingan khususnya, adanya kesaan corak dalam faham dan praktek keagamaan yyang berorientasi pada mazhab Syafi’i, disamping ada tradisi-tradisi keagamaan yang sama, sepeerti hari-hari besar Islam, pembcaan Rawi (berzanji) dan lain-lain.
Kurangnya sarana pendidikan keagamaan yang dirasakan masyarakat seakan teerobati dengan hadirnya Nahdlatul Wathan melalui pengajian dan majlis Taklimnya. “Melihat kondisi masyarakat yang demikian, kami berusaha mengorganisir anak-anak mengaji di mushalla Al-Ikhlas milik H. Tamim”, demikian ungkap abituren yang akrab dipanggil ustaz oleh jamaahnya.
Dalam waktu singkat murid-murid pengajian bertambah banyak sehingga mencapai 200-an anak. Setelah berjalan satu tahun, oleh satu dan lain hal, dipandang perlu untuk pindah agar lebih leluasa bergerak yaitu ke rumah H. Arkian, salah serang wali murid.
Para wali murid semakain mengenal kepribadian sang abituren sebagai seorang ustaz. Bahkan pengajian bukan hanya diikuti oleh para anak-anak, tetapi juga kaum ibu yang dipelopori Ibu Gusti Yakut Kuning, seiring dengan kehadiran Sahabuddin, asal Dopang Lombok Barat yang juga satu angkatan. Sesuai dengan yang diyakini sebelumnya, maka Ibu Yakut yang sering dipanggil kakak oleh jamaah lainnya mengajak, Ibu Titin, Ibu Yosi, Ibu Masani, Ibu Ela dan lain-lain. Dan merekalah yang dianggap cikal bakal berdirinya majlis taklim Nahdlatul Wathan.
Melihat perkembangan pengajian yang semakin pesat, atas saran teman sekuliahnya, Mahari, asli Betawi, merasa perlu meningkatkan kedisiplinan anak didik, kemudian diadakan sebuah acara Pembinaan mental (Bintal) yang juga diikuti oleh jamaah lainnya. Momentum inilah yang dianggap sebagai awal keterlibatan bapak-bapak secara fisik, karena secara moral mereka telah terlibat jauh sebelumnya.
Kerelaan jama’ah untuk menjadikan tempat berteduh dikala hujan dan berlindung dari terik matahari sebagai bagian dari refleksi cinta kasih mereka kepada pembinanya. Misalnya kesedian simpatisan menjadikan mushalla bukan saja tempat ibadah tetapi sebagai tempat tinggal bagi para pembina pengajian, ini dilakukan oleh H. Taim. Sebailknya H. Arkian menyediakan rumahny sebagai tempat tinggal tetapi sekaligus segagai tempat pengajian.
Tanah sebagai modal dasar dalam pengembangan masa depan yang lebih baik mulai dipikirkan. Para wali murid yang terpangngil untuk membahas mendesaknya kebutuhan sarana pendidikan yang permanen. Berdasarkan musyawarah dan mufakat diputuskan untuk membeli sebidang tahah dengan cara angsuran. Bahkan ibu-ibu pun merelakan perhiasan mereka dipinjam. Tanah itu milik keluarga Ibu Masani, salah seorang jamaah yang juga sebelumnya menyewakan tanah untuk kepentingan pengajian.
Ketika pembangunan sarana yang pasti dan mandiri dimulai, seluruh jamaah bergotong royong. Bapak-bapak mengerjakan bangunan sementara ibu-ibu menyiapkan makanan dengan sukarela, anak-anak pun ikut semampunya.
Bentuk lain dari respon masyarakat Jakarta terhada keberadaan Nahdlatul Wathan adalah mengirim putra-putri mereka ke pusat pendidikan Nahdlatul Wathan di Pancor Lombok Timur.
Penerimaan dan penyerahan paling total masyarakat Pisangan pada akhirnya adalah azam dan keputusan untuk membentuk sebuah lembaga sebagai bukti dan garansi terhadap kelangsungan perjuangan yang sudah mereka canagkan dan yakini. Semoga semangat keislaman yang dimiliki masyarakat Pisangan tetap menyala untuk selamanya.

Tim Peliput:
Drs. Syhabuddin, Drs. Badri HS, Zainul Muttaqin, Khairuddin, Musifuddin, Qazwaini, Miftahuddin, Harapandi Dahri.

2 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Sungguh awal perjuangan yang mengharukan. Sungguh... Allah SWT tidak akan menyia-nyiakan pejuangan saudara saudara kita, pengurus, jamaah dan simpatisan Nahdlatul Wathan Jakarta. Tetaplah berjuang dengan sabar, ikhlas, yakin, istiqamah. Inna wa'dallahi qarib
    BalasHapus

    BalasHapus